Menurut dia, dengan minimnya jumlah sekolah yang bisa mengakses internet tersebut menunjukkan bahwa program dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berupa buku sekolah elektronik (BSE) atau dikenal dengan "e-Book" belum efektif.
"Bisa dibayangkan kalau `donwn load` materi pelajaran di internet, lalu kemudian di `print out` (cetak, red)` biayanya jauh lebih mahal dari pada kalau beli buku jadi," katanya.
Mendapati hal itu, Depdiknas kemudian menggandeng salah satu percetakan milik Jawa Pos Grup yakni PT Temprina Media Grafika untuk mencetak buku-buku elektronik secara massal.
Hanya saja, kata dia, Depdiknas sendiri tidak mengalokasikan biaya distribusi, jadi yang dihitung hanya biaya cetak, padahal ongkos distribusi untuk sekolah-sekolah di Indonesia Bagian Timur itu sangat besar. "Jadi wajar, jika kemudian pelaksanaan program itu tersendat," ujarnya.
Menurut dia, yang harus diubah oleh Depdiknas, adalah biaya distribusi, sehingga orang-orang dari daerah yang ingin mencetak buku elektronik itu bisa langsung mendistribusikannya.
Selain itu, kata dia, pemerintah baru menjalin kerjasama dengan PT Temprina Media Grafika saja, sedangkan dengan percetakan lainnya belum dilakukan.
"Tapi dugaan saya, perusahaan itu hanya mencetak untuk daerah-daerah dimana dia punya cetakan. Kalau seperti itu, bagaimana dengan daerah-daerah yang tidak punya percetakan dan bagaimana distribusinya jika harga buku dipatok Rp10 ribu per eksemplar," katanya.
Untuk itu, kata dia, jika pemerintahan cerdas, maka tentunya akan kerjasama dengan percetakan lokal agar distribusi buku-buku murah tersebut merata di semua daearah.
Apalagi kalau pemerintah daerah (pemda) ikut mencetak dan mendistribusikannya, maka kemungkinan harga buku bisa ditekan. "Tujuan dari `e-Book` itu sendiri kan menekan harga buku di pasaran," katanya. (mp/*a)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar